Pelegalan bunuh diri (Eutanasia)

Orang-orang yunani kuno menyebut kematian terhormat untuk mengakhiri penderitaan hidup sebagai Eutanasia. Ketika hidup tidak lagi mampu dijalani dengan kebajikan, atau kehidupan terlalu berat memberikan rasa malu, dan penderitaan tak lagi bisa ditanggung kematian adalah wujud paling masuk akal untuk menyelesaikan masalah. Di Indonesia sayangnya, Eutanasia bukan tindakan legal. Membantu orang mengakhiri hidup akan dijerat hukum dan bisa dipenjara. Usaha untuk melegalkan Eutanasia pernah dilakukan, pada tanggal 22 Oktober 2004 sebuah permohonan melakukan tindakan eutanasia pernah diajukan. Permohonan ini diajukan oleh Hasan Kesuma, suami dari Agian Isna Nauli, 33 tahun, yang tergolek koma selama tiga bulan pasca operasi caesar. Istrinya berada dalam kondisi sekarat dan vegetatif. Ia hidup tapi tidak berfungsi selayaknya manusia kebanyakan. Penderitaan istrinya membuat Panca tak tahan dan mengajukan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan ini tentu ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada 2013 Ignatius Ryan Tumiwa, warga Jakarta Barat, mengajukan permohonan uji materi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344 terhadap Undang-undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Pasal yang berbunyi “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, dianggap menghalangi niatnya untuk menyuntik mati diri sendiri. 
Ignatius ingin mengakhiri hidup sendiri dengan dibantu tim medis, tetapi gugatan itu juga ditolak. Lantas bagaimana hukum Indonesia memandang Eutanasia? Meski tidak secara tegas diatur, Euthanasia tetap melanggar KUHP. Pasal 344 KUHP disebutkan merampas nyawa orang lain dengan permintaan dari orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun. Sejauh undang-undang itu masih ada, maka Eutanasia di Indonesia adalah tindakan melanggar hukum. Indonesia boleh jadi melarang Eutanasia, tapi setidaknya ada delapan negara yang memperbolehkan anda untuk menentukan nasib hidup sendiri. Negara itu seperti Belgia, Kolombia, India, Irlandia, Luxemburg, Meksiko, Belanda, dan Jepang. Meski demikian syarat-syarat ketat mesti dipenuhi sebelum seseorang bisa mengakhiri hidupnya. Hal ini penting agar masyarakat yang putus asa tidak serta-merta minta agar hidupnya diakhiri oleh negara. Beberapa negara juga hanya mengizinkan Eutanasia sebagai alternatif akhir dan hanya diberikan kepada mereka yang sakit serta secara medis tak lagi tertolong. Pada 2015, Belgia menjadi perhatian dunia karena mengizinkan Eutanasia kepada seorang perempuan berusia 24 tahun. Pemerintah Belagia dianggap terlalu mudah memberikan izin untuk mati bagi warganya. Pada 2014 saja ada 1.800 orang yang menjalani eutanasia, angka ini naik 27 persen dari tahun sebelumnya. Sejak diberlakukan secara resmi pada 2002, Eutanasia di Belgia memang memicu kontroversi karena dianggap terlalu mudah memberikan izin. Pemerintah Belgia secara resmi menyebutkan bahwa Eutanasia hanya diberikan kepada pasien yang menderita dan tak lagi mampu menanggung penderitaan atau sekarat.





Comments

Popular posts from this blog

Mencari ginjal di facebook

Penjara unik di dunia