Di udara

Aku sering diancam, juga teror mencekam. 

Kerap ku disingkirkan. 

Sampai dimana kapan. Ku bisa tenggelam di lautan. 

Aku bisa diracun di udara 

Aku bisa terbunuh di trotoar jalan. 

Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti 
Munir adalah seorang aktivis HAM Indonesia lahir di Malang, Jawa Timur pada 8 Desember 1965 seorang keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Pria keturunan Arab lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini merupakan seorang aktivis dan pejuang HAM Indonesia. Ia dihormati oleh para aktivitis, LSM, hingga dunia internasional. Tanggal 16 April 1996, Munir mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) serta menjadi Koordinator Badan Pekerja di LSM ini. Di lembaga inilah nama Munir mulai bersinar, saat dia melakukan advokasi terhadap para aktifis yang menjadi korban penculikan rezim penguasa Soeharto. Perjuangan Munir tentunya tak luput dari berbagai teror berupa ancaman kekerasan dan pembunuhan terhadap diri dan keluarganya. Usai kepengurusannya di KontraS, Munir ikut mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial, di mana ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif. Atas perjuangannya yang tak kenal lelah, dia pun memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia, yaitu sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif dari Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedia di bidang HAM dan Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia. Sebelumnya, Majalah Asiaweek pada Oktober tahun 1999 pernah menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru dan Man of The Year versi majalah Ummat tahun 1998.
Kasus-Kasus Penting yang Pernah ditangani Munir diantaranya adalah menjadi Penasehat Hukum masyarakat Nipah, Madura, dalam kasus permintaan pertanggungjawaban militer atas pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur; 1993, menjadi Penasehat Hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus kerusuhan PT. Chief Samsung; 1995. Munir juga sangat peduli dengan korban dari reformasi, hal ini bisa dilihat dengan dirinya menjadi Penasehat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktifis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998, Penasehat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok 1984; sejak 1998, dan Penasehat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi 1 dan 2; 1998-1999. Dan masih banyak sekali kontribus Alm Munir dalam penanganan kasus-kasus yang menyangkut pembelaan Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Sipil yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Munir sebenarnya akan melanjutkan study S2 di Univeritas Utrecht, Belanda. Namun nasib berkata lain. Munir meninggal dalam perjalanannya ke Belanda. Konon Munir meninggal karena diracuni. Namun hingga saat ini kasus Munir belum terungkap. Dan masih meninggalkan tanda tanya dan kejanggalan bagi bangsa Indonesia.
Dalam kronologi kasus pembunuhan aktivis HAM tersebut disebutkan bahwa menjelang memasuki pintu pesawat, Munir bertemu dengan Polycarpus seorang pilot pesawat Garuda yang sedang tidak bertugas dan Polycarpus menawarkan kepada Munir untuk berganti tempat duduk pesawat dimana Munir menempati kursi Polycarpus dikelas bisnis dan Polycarpus menempati kursi Munir dikelas ekonomi. Pukul 22.05 WIB pesawat lepas landas dan 15 menit kemudian Flight Attendant membagikan makanan dan minuman kepada para penumpang, Munir memilih mi goreng dan kembali memilih jus jeruk sebagai minumannya, setelah mengudara hampir 2 jam pesawat mendarat di bandara Changi Singapura. Di bandara Changi, Munir menghabiskan waktu di sebuah gerai kopi sedangkan seluruh awak pesawat termasuk Polycarpus berangkat menuju hotel menggunakan bus dan perjalanan dari Singapura menuju Belanda seluruh awak pesawatnya berbeda dari perjalanan Jakarta menuju Singapura. Dalam perjalanan Munir meminta kepada flight attendant Tia Ambarwati segelas teh hangat dan Tia pun menyajikan segelas teh hangat yang dituangkan dari teko ke gelas diatas troli dilengkapi gula sachet. Tiga jam setelah mengudara Munir bolak balik ke toilet, saat berpapasan dengan Pramugara bernama Bondan, Munir memintanya memanggil Tarmizi seorang dokter yang ia kenal saat hendak berangkat yang kebetulan juga menuju Belanda, Tarmizi melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju Munir. Dia lalu mendapati bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat lemah.
Tarmizi berpendapat Munir mengalami kekurangan cairan akibat muntaber. Munir kembali lagi ke toilet untuk muntah dan buang air besar dibantu pramugari dan pramugara. Setelah selesai, Munir ke luar sambil batuk-batuk berat.Tarmizi menyuruh pramugari untuk mengambilkan kotak obat yang dimiliki pesawat.Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan tersegel. Setelah dibuka, Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu sangat minim, terutama untuk kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut mulas dan obat muntaber, semuanya tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat di tasnya. Dia memberi Munir dua tablet obat diare New Diatabs; satu tablet obat mual dan perih kembung, Zantacts dan satu tablet Promag. Tarmizi menyuruh pramugari membuat teh manis dengan tambahan sedikit garam. Namun, setelah lima menit meminum teh tersebut, Munir kembali ke toilet. Tarmizi menyuntikkan obat anti mual dan muntah, Primperam, kepada Munir sebanyak 5 ml. Hal ini berhasil karena Munir kemudian tertidur selama tiga jam. Setelah terbangun, Munir kembali ke toilet. Kali ini dia agak lama, sekitar 10 menit, ternyata Munir telah terjatuh lemas di toilet.
Dua jam sebelum pesawat mendarat, terlihat keadaan Munir, mulutnya mengeluarkan air yang tidak berbusa dan kedua telapak tangannya membiru. Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan matanya dan menutupi tubuh Munir dengan selimut. Setelah dilakukan penyelidikan termasuk oleh pihak otoritas Belanda ditemukan bahwa didalam tubuh Munir ditemukan kandungan racun Arsenik sebanyak 460mg didalam lambungnya dan 3.1mg/l dalam darahnya. Namun terdapat keanehan setelah dilakukan otopsi oleh pihak RS Dr Soetomo dimana kandungan arsenik yang ditemukan didalam lambung Munir sedikit ganjil karena seharusnya kandungan arsenik tersebut sudah hancur/melarut. Ini terkesan mempertegas spekulasi jika kandungan arsenik dalam tubuh Munir baru dimasukkan ketika jenazahnya sudah di Indonesia. Apapun itu penyebab kematian aktivis HAM tersebut hingga kini kasus tersebut masih menjadi sebuah misteri yang belum terungkap, walaupun sudah ada beberapa orang yang telah dijatuhi vonis oleh pengadilan.
Pengungkapan kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib merupakan kepentingan publik. Kejelasan kasus tersebut, bukanlah semata kepentingan pihak tertentu. Kasus Munir bukan semata kepentingan Kontras atau LBH, atau Suciwati dan keluarganya sebagai korban, pengungkapan kasus Munir terkait hak setiap warga negara Indonesia atas keadilan dan kepastian hukum. Tidak ada perkembangan kasus Munir selama 12 tahun. Hanya pelaku lapangan sajalah yang diadili. Belum ada satu pun auktor intelektual yang tertangkap. Sebenarnya publikasi dokumen tim pencari fakta atau TPF Munir merupakan kunci bagi pengungkapan aktor intelektual pembunuhannya. Namun hingga kini, dokumen TPF Munir yang dibentuk pada era pemerintahan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono itu masih menjadi misteri. Kasus pembunuhan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia Munir Said Thalib memang masih menyisakan sejumlah kejanggalan dan pertanyaan. Sejak 12 tahun Munir dibunuh, hingga saat ini belum terungkap mengenai siapa pelaku intelektual kasus tersebut. Dan banyak yang meyakini pembunuhan Munir dilatarbelakangi unsur politik yang melibatkan unsur negara.




Comments

Popular posts from this blog

Mencari ginjal di facebook

Penjara unik di dunia

Pelegalan bunuh diri (Eutanasia)